DKPP Tolak Aduan Etik di Pilkada Kukar dan Tegur Keras Bawaslu Mahakam Ulu

DIKSI.CO – Seluruh jajaran Bawaslu Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu) mendapat teguran keras dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Pasalnya, mereka dinilai dinilai lalai, abai, dan tidak profesional dalam menjalankan fungsi pengawasan pada Pilkada Mahulu 2024.
Akibat kelalaian itu berujung pada terjadinya pelanggaran serius dalam bentuk kontrak politik antara pasangan calon dan sejumlah ketua RT.
Ketua DKPP, Heddi Lugito, membacakan amar putusan tersebut dalam sidang terbuka di Jakarta, Senin (3/11/2025).
Dalam keputusannya, DKPP menilai tindakan Bawaslu Mahulu bertentangan dengan prinsip netralitas dan tanggung jawab sebagai penyelenggara pemilu.
“DKPP menjatuhkan sanksi teguran keras kepada Bawaslu Mahulu karena dinilai lalai, abai, dan tidak profesional dalam menjalankan tugasnya,” tegas Heddi.
Kasus ini berawal dari laporan tim pemenangan pasangan calon Owena Mayang Sari Belawan–Stanislaus, yang merasa dirugikan oleh praktik kontrak politik yang diteken pasangan calon dengan sejumlah ketua RT.
Dalam kontrak tersebut, paslon menjanjikan alokasi dana kampung sebesar Rp4–5 miliar per tahun, program ketahanan keluarga senilai Rp5–10 juta per dasawisma, serta dana RT Rp200–300 juta per tahun jika terpilih dalam Pilkada.
Kontrak politik yang dibuat secara sistematis dan melibatkan perangkat lingkungan itu kemudian dianggap melanggar asas kebebasan memilih, sekaligus mencederai prinsip netralitas aparatur di tingkat akar rumput.
Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya telah menilai tindakan tersebut sebagai praktik yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), sehingga mendiskualifikasi pasangan Owena–Stanislaus dari Pilkada Mahulu 2024 melalui Putusan MK Nomor 224/PHPU.BUP-XXIII/2025.
Menurut DKPP, kelalaian Bawaslu Mahulu dalam menjalankan pengawasan menjadi faktor penting yang memungkinkan pelanggaran itu terjadi. Bawaslu dinilai tidak cermat dan gagal menjalankan fungsi pencegahan meskipun indikasi pelanggaran sudah tampak jelas di lapangan.
“Aturan sudah jelas, namun pengawasan dijalankan secara tidak profesional, cermat, dan akuntabel,” ujar Heddi menegaskan.
DKPP menyebut, seharusnya Bawaslu Mahulu bertindak cepat begitu mengetahui adanya keterlibatan ketua RT dalam kegiatan politik praktis.
Namun faktanya, pengawasan bersifat pasif dan tanpa langkah penindakan yang tegas. Kondisi itu, kata Heddi, membuat pelanggaran justru berlangsung tanpa hambatan dan seolah mendapat pembiaran.
Lebih jauh, DKPP menilai kelalaian itu telah merusak kepercayaan publik terhadap integritas lembaga pengawas pemilu. Padahal, keberadaan Bawaslu di setiap daerah dimaksudkan sebagai penjaga utama keadilan dan netralitas dalam proses demokrasi.
Selain itu, dalam perkara yang sama, MK juga menyoroti dugaan keberpihakan Bupati Mahulu Bonafasius Belawan Geh, yang diketahui merupakan ayah kandung Owena Mayang Sari Belawan. Meski faktor tersebut menjadi salah satu pertimbangan dalam putusan MK, DKPP menegaskan bahwa tanggung jawab etik Bawaslu Mahulu tetap berdiri sendiri.
“Kelalaian pengawas tidak bisa dibenarkan, apapun konteks politiknya. Lembaga ini wajib netral dan tegas dalam mengawasi seluruh tahapan,” ucap Heddi.
DKPP pun memerintahkan Bawaslu RI untuk memastikan pelaksanaan putusan tersebut dilakukan maksimal tujuh hari setelah dibacakan, dengan pengawasan langsung terhadap implementasinya di tingkat daerah.
“DKPP mengabulkan sebagian aduan pengadu dan menekankan agar Bawaslu RI memastikan putusan ini dijalankan dengan cermat serta diawasi pelaksanaannya,” imbuhnya.
Dalam sidang yang sama, DKPP juga membacakan hasil pemeriksaan terhadap laporan dugaan pelanggaran etik penyelenggara pemilu di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar).
Laporan tersebut menyoroti proses penetapan Edi Damansyah sebagai calon bupati dalam Pilkada Kukar 2024.
Namun, setelah memeriksa seluruh bukti dan mendengar keterangan pihak terkait, DKPP menolak seluruh aduan pelapor.
Menurut DKPP, proses penetapan Edi Damansyah sebagai calon bupati telah dilakukan sesuai dengan prosedur hukum dan peraturan yang berlaku.
“Hasil pemeriksaan menunjukkan KPU Kukar telah melakukan pencermatan berjenjang dan berpedoman pada instruksi KPU Kaltim. Karena itu, DKPP menolak seluruh aduan pelapor,” jelas Heddi.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, diketahui bahwa pada periode pertama, Edi Damansyah hanya menjabat 2 tahun 11 hari menggantikan Rita Widyasari — sehingga tidak memenuhi syarat “dua periode penuh” sebagaimana dipersoalkan pelapor.
Bawaslu Kukar pun telah melakukan pengawasan dengan mengacu pada Peraturan Bawaslu Nomor 6 Tahun 2024 tentang Pengawasan Pilkada Serentak, dan hasil pengawasan tersebut telah dikonsultasikan ke Bawaslu Kaltim dan Bawaslu RI sebelum penetapan calon dilakukan.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 195/PHPU.BUP-XXIII/2025, menyatakan Edi Damansyah melebihi batas dua periode jabatan.
Namun DKPP menegaskan, putusan itu bersifat konstitusional dan tidak otomatis membuktikan adanya pelanggaran etik oleh penyelenggara pemilu.
Dalam konteks etik, DKPP menilai KPU dan Bawaslu Kukar telah bekerja sesuai prinsip profesionalitas dan kehati-hatian, tanpa ada indikasi keberpihakan terhadap salah satu pihak.
Karena itu, DKPP meminta KPU RI dan Bawaslu RIuntuk memulihkan nama baik para komisioner yang sebelumnya dilaporkan.
“Putusan ini harus ditindaklanjuti paling lambat tujuh hari setelah dibacakan,” tutup Heddi.
Dua putusan berbeda yang dikeluarkan DKPP hari itu menunjukkan bagaimana lembaga etik ini berupaya menjaga marwah penyelenggara pemilu.
Di satu sisi, peneguran terhadap Bawaslu Mahulu menjadi pengingat bahwa kelalaian dalam pengawasan sama berbahayanya dengan keberpihakan terbuka.
Di sisi lain, pembebasan KPU dan Bawaslu Kukar dari tuduhan etik menegaskan pentingnya pembuktian obyektif dalam setiap laporan pelanggaran.
Dengan keputusan tersebut, DKPP menegaskan komitmennya untuk menjaga integritas demokrasi di daerah — memastikan bahwa setiap penyelenggara pemilu, baik di pusat maupun di kabupaten, tetap memegang teguh prinsip jujur, adil, dan berintegritas. (*)